Sejarah
Prabu Siliwangi
Sejarah
prabu Siliwangi – Kisah Prabu Siliwangi sangat
dikenal dalam sejarah Sunda sebagai Raja Pajajaran. Salah satu naskah kuno yang
menjelaskan tentang perjalanan Prabu Siliwangi adalah kitab Suwasit. Kitab
tersebut berisi 22 bab perjalanan Sejarah prabu Siliwangi dimulai dari
ayahnya, Prabu Anggararang Raja Kerajaan Gajah. Setelah Prabu Anggararang
merasa puteranya layak memangku jabatan raja, akhirnya kerajaan diserahkan
kepada Pangeran Pamanah Rasa (sebelum bergelar Siliwangi).
Sejarah
prabu Siliwangi menjadi nama Siliwangi
Mengenai
sejarah nama Siliwangi, dijelaskan bahwa nama tersebut adalah gelar setelah
Pangeran Pamanah Rasa masuk Islam sebagai salah satu syarat mempersunting murid
Syaikh Quro, yakni Nyi Ratu Subanglarang. Dari isteri ketiga ini, kemudian
melahirkan Kian Santang yang bergelar Pangeran Cakrabuana di Cirebon dan Rara
Santang, ibunda Sunan Gunung Jati.
Bersamaan
Sejarah prabu Siliwangi dengan luasnya wilayah Gajah, kemudian Prabu Siliwangi
menciptakan senjata Kujang, berbentuk melengkung dengan ukiran harimau di
tangkainya. Senjata tersebut kemudian menjadi lambang Jawa Barat. Nama kerajaan
Gajah pun diganti menjadi kerajaan Pajajaran, karena menjajarkan (menggabung)
kerajaan Gajah dengan kerajaan Harimau Putih. Kisah dalam Kitab Suwasit
diakhiri dengan mokhsa (menghilang) dan dipindahkannya kerajaan Pajajaran ke
alam Gaib bersama Harimau Putih.
Pada
kitab yang sudah diterbitkan oleh Jelajah Nusa, dikisahkan dalam bab keempat
bahwa setelah menjadi kerajaan Gajah, Pangeran Pamanah Rasa melakukan
pengembaraan hingga di sebuah hutan di wilayah Majalengka. Ketika hendak
meminum air dari curug (air terjun), Pangeran Pamanah Rasa dihadang oleh
siluman Harimau Putih sehingga terjadi pertarungan hebat hingga setengah hari.
Namun berkat kesaktian Pangeran Pamanah Rasa, siluman Harimau itu bisa
dikalahkan dan tunduk padanya.
Bukti
Sejarah Prabu Siliwangi
Sejarah
prabu Siliwangi ditemukan adanya sebuah Kitab yang diterbitkan dengan sambutan
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan kemudian mengisahkan bahwa Harimau Putih
berubah wujud menjadi manusia untuk mendampingi pengembaraan Pangeran Pamanah
Rasa hingga menaklukkan kerajaan Galuh dengan bantuan Harimauu Putih. Bahkan
disebutkan, ketika terjadi penyerangan oleh kerajaan Mongol (mungkin masa
Kubilai Khan), kerajaan Gajah dibantu pasukan Harimau Putih.
Tentunya,
meskipun kental dengan unsur mitos, kitab tersebut merupakan
sumber Sejarah prabu Siliwangi yang sangat penting.
Dinasti Prabu Siliwangi
DINASTI
Sang Prabu Siliwangi pada abad ke-15, menjadikan Islam sebagai agamanya secara
aman dan damai. Diawali dengan sebab adanya pernikahan kedua Sang Prabu
Siliwangi dengan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa, Syah Bandar Cirebon.
Subang Larang adalah santri Syekh Kuro atau Syekh Hasanuddin dengan pesantrennya
di Karawang. Dinasti Sang Prabu Siliwangi dari pernikahannya dengan Subang
Larang, terlahirlah tiga orang putra putri. Pertama, Pangeran Walangsungsang,
kedua, Nyai Lara Santang dan ketiga Raja Sangara. Ketiga-tiganya masuk Islam.
Pesantren
Syekh Kuro
Syekh
Kuro yang dikenal pula dengan nama Syekh Hasanuddin, memegang peranan penting
dalam masuknya pengaruh ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu Siliwangi.
Persahabatan Ki Gedeng Tapa dengan Syekh Kuro, menjadikan putrinya, Subang
Larang masantren di Pesantren Syekh Kuro. Adapun kedudukan Ki Gedeng Tapa
adalah sebagai Syahbandar di Cirebon. Menggantikan Ki Gedeng Sindangkasih
setelah wafat. Ki Gedeng Tapa dikenal pula dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati.
Dalam
Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya Cirebon yang
ditulis (1720) atas dasar Negarakerta Bumi, menuturkan bahwa Ki Gedeng
Sinangkasih memiliki kewenangan yang besar. Tidak hanya sebagai Syahbandar di
Cirebon semata. Ternyata juga memiliki kewenangan mengangkat menantunya, Raden
Pamanah Rasa sebagai Maharaja Pakwan Pajajaran dengan gelar Sang Prabu
Siliwangi.
Adapun
istri pertama Sang Prabu Siliwangi adalah Nyi Ambet Kasih putri kandung Ki
Gedeng Sindangkasih. Istri kedua, Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa. Isteri
ketiga, Nyai Aciputih Putri dari Ki Dampu Awang.
Dari
peristiwa pergantian kedudukan di atas ini, antara Ki Gedeng Tapa dan Sang
Prabu Siliwangi memiliki kesamaan pewarisan. Keduanya memperoleh kekuasaan
berasal dari Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Hubungan antara keduanya
dikuatkan dengan pertalian pernikahan. Sang Prabu Siliwangi mempersunting putri
Ki Gedeng Tapa yakni Subang Larang. Dengan demikian Sang Prabu Siliwangi adalah
menantu Ki Gedeng Tapa.
Pernikahan
di atas ini, mempunyai pengaruh yang besar terhadap kekuasaan politik yang
sedang diemban oleh Sang Prabu Siliwangi. Tidaklah mungkin kelancaran kehidupan
Kerajaan Hindu Pajajaran, tanpa kerja sama ekonomi dengan Syahbandar Cirebon,
Ki Gedeng Tapa. Begitu pula sebaliknya, Ki Gedeng Tapa tidak mungkin aman kekuasaannya
sebagai Syahbandar, bila tanpa perlindungan politik dari Sang Prabu Siliwangi.
Guna memperkuat power of relation antar keduanya, maka diikat dengan tali
pernikahan.
Pengaruh
eksternal
Pengaruh
islamisasi terhadap Dinasti Sang Prabu Siliwangi tidak dapat dilepaskan
hubungan dengan pengaruh Islam di luar negeri. Di Timur Tengah, Fatimiyah
(1171) dan Abbasiyah (1258) memang sudah tiada digantikan oleh kekuasaan Mamluk
di Mesir dan Mongol di Baghdad. Namun pada kelanjutan Dinasti Khu Bilai Khan,
Mongol pun memeluk Islam. Kemudian membangun kekaisaran Mongol Islam di India.
Perkembangan
kekuasaan politik Islam di Timur Tengah di bawah Turki semakin berjaya.
Konstantinopel dapat dikuasainya (1453). Di Cina Dinasti Ming (1363-1644)
memberikan kesempatan orang-orang Islam untuk duduk dalam pemerintahan. Antara
lain Laksamana Muslim Cheng Ho ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo memimpin misi
muhibah ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan Nusantara (1405-1430).
Membawa pasukan muslim 27.000 dengan 62 kapal. Demikian penuturan Lee Khoon
Choy, dalam Indonesia Between Myth and Reality. Di Cirebon Laksmana Cheng Ho
membangun mercusuar. Di Semarang mendirikan Kelenteng Sam Po Kong.
Misi
muhibah Laksamana Cheng Ho tidak melakukan perampokan atau penjajahan. Bahkan
memberikan bantuan membangun sesuatu yang diperlukan oleh wilayah yang
didatanginya. Seperti Cirebon dengan mercusuarnya. Oleh karena itu, kedatangan
Laksamana Cheng Ho disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar
Cirebon.
Perubahan
tatanan dunia politik dan ekonomi yang dipengaruhi oleh Islam seperti di atas,
berdampak besar dalam keluarga Sang Prabu Siliwangi. Terutama sekali
pengaruhnya terhadap Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar di Cirebon.
Karena
sangat banyak kapal niaga muslim yang berlabuh di pelabuhan Cirebon, kapal
niaga dari India Islam, Timur Tengah Islam dan Cina Islam. Pembangunan
mercusuar di pelabuhan Cirebon memungkinkan tumbuhnya rasa simpati Ki Gedeng
Tapa sebagai Syahbandar Cirebon terhadap Islam. Dapat dilihat dari putrinya Subang
Larang, sebelum dinikahkan dengan Sang Prabu Siliwangi, dipesantrenkan terlebih
dahulu ke Syekh Kuro. Di bawah kondisi keluarga dan pengaruh eksternal yang
demikian ini, putra putri Sang Prabu Siliwangi mencoba lebih mendalami Islam
dengan berguru ke Syekh Datuk Kahfi dan Naik Haji.
Gunung
dan Guru
Naskah
Carita Purwaka Caruban Nagari kelanjutannya menuturkan, setiap dalam upaya
pencarian guru pasti tempat tinggalnya ada di Gunung. Tampaknya sudah menjadi
rumus, para Guru Besar Agama atau Nabi selalu berada di Gunung. Dapat kita baca
Rasulullah saw juga menerima wahyu Al Quran dan diangkat sebagai Rasul di Jabal
Nur. Jauh sebelumnya, Nabi Adam as dijumpakan kembali dengan Siti Hawa ra, di
Jabal Rahmah.
Tempat
pendaratan Kapal Nuh as setelah banjir mereda di Jabal Hud. Pengangkatan Musa
as sebagai Nabi di Jabal Tursina. Demikian pula Wali Sanga selalu terkait
aktivitas dakwah atau ma kamnya dengan gunung. Tidak berbeda dengan kisah
islamisasi putra putri Prabu Siliwangi erat hubungannya dengan guru-guru yang
berada di gunung.
Subang
Larang tidak mungkin mengajari Islam putra putrinya sendiri di istana Pakuan
Pajajaran. Diizinkan putra pertamanya Pangeran Walangsungsang untuk berguru ke
Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati. Di sini Pangeran Walangsungsang
diberi nama Samadullah.
Walaupun
demikian Pangeran Walangsungsang harus pula berguru kedua guru Sanghyang Naga
di Gunung Ciangkap dan Nagagini di Gunung Cangak. Di sini Pangeran
Walangsungsang diberikan gelar Kamadullah. Di Gunung Cangak ini pula berhasil
mengalahkan Raja Bango. Pangeran Walangsungsang diberi gelar baru lagi Raden
Kuncung. Dari data yang demikian, penambahan atau pergantian nama memiliki
pengertian sebagai ijazah lulus dan wisuda dari studi di suatu perguruan.
Dengan
cara yang sama Lara Santang harus pula mengaji ke Syekh Datuk Kahfi Cirebon.
Dalam Naskah Babad Cirebon dikisahkan Lara Santang sebelum sampai ke Cirebon,
berguru terlebih dahulu ke Nyai Ajar Sekati di Gunung Tangkuban Perahu.
Kemudian menyusul berguru ke Ajar Cilawung di Gunung Cilawung. Di sini setelah
lulus diberi nama Nyai Eling.
Naik
haji
Atas
anjuran Syekh Datuk Kahfi agar Pangeran Walangsungsang dan Lara Santang Naik
Haji. Ternyata dalam masa Ibadah Haji di Makkah, Lara Santang dipersunting oleh
Maolana Sultan Mahmud disebut pula Syarif Abdullah dari Mesir. Lara Santang
setelah haji dikenal dengan nama Syarif Mudaim. Dari pernikahannya dengan
Syarif Abdullah, lahir putranya, Syarif Hidayatullah pada 12 Mualid 1448
dikenal pula setelah wafat dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan putra kedua
adalah Syarif Nurullah.
Walangsungsang
setelah haji, dikenal dengan nama Haji Abdullah Iman. Karena sebagai Kuwu di
Pakungwati, dikenal dengan nama Cakrabuana. Prestasi Cakrabuana yang demikian
menarik perhatian Sang Prabu Siliwangi, diberi gelar Sri Mangana. Pengakuan
Sang Prabu Siliwangi yang demikian ini, menjadikan adik Walangsungsang atau
Cakrabuana, yakni Raja Sangara masuk Islam dan naik haji kemudian berubah nama
menjadi Haji Mansur.
Untuk
lebih lengkapnya kisah islamisasi Dinasti Sang Prabu Siliwangi, dapat dibaca
pada Dr. H. Dadan Wildan M.Hum, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta.
Silsilah
Prabu Siliwangi
Kembali
ke masalah pokok artikel saya di atas ini. Suatu artikel yang saya angkat dari
karya Dr. H. Dadan Wildan M.Hum. Bagi saya sejarah Prabu Siliwangi merupakan
belukar yang sukar saya pahami. Dari karya Dr. H. Dadan Wildan M.Hum ada bagian
sangat menarik, Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya Cerbon
1720. Diangkat dari terjemahannya karya Pangeran Sulendraningrat (1972), dan
Drs. Atja (1986).
Prabu
Siliwangi seorang raja besar dari Pakuan Pajajaran. Putra dari Prabu
Anggalarang dari dinasti Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau Kraton Galuh.
Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Diasuh oleh Ki Gedeng
Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati.
Istri
pertama adalah Nyi Ambetkasih, putri dari Ki Gedengkasih. Istri kedua, Nyai
Subang Larang putri dari Ki Gedeng Tapa. Ketiga, Aciputih Putri dari Ki Dampu
Awang.
Selain
itu, CPCN juga menuturkan silsilah Prabu Siliwangi sebagai ke turunan ke-12
dari Maharaja Adimulia. Selanjutnya bila diurut dari bawah ke atas, Prabu
Siliwangi (12) adalah putra dari (11) Prabu Anggalarang, (10) Prabu Mundingkati
(9) Prabu Banyakwangi (8) Banyaklarang (7) Prabu Susuk tunggal (6) Prabu
Wastukencana (5) Prabu Linggawesi (4) Prabu Linggahiyang (3) Sri Ratu Purbasari
(2) Prabu Ciungwanara (1) Maharaja Adimulia. Sudah menjadi tradisi penulisan
silsilah, hanya menuliskan urutan nama. Tidak dituturkan peristiwa apa yang
dihadapi pada zaman pelaku sejarah yang menyangdang nama-nama tersebut.
Kadang-kadang juga disebut makamnya di mana.
Pengenalan
Islam
Adapun
Dinasti Prabu Siliwangi yang masuk Islam adalah dari garis ibu, Subang Larang.
Dapat dipastikan dari Subang Larang ajaran Islam mulai dikenal oleh
putra-putrinya. Walaupun Subang Larang sebagai putri Ki Gedeng Taparaja
Singapora bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Namun Subang Larang adalah murid
dari Syekh Hasanuddin atau dikenal pula sebagai Syekh Kuro.
Adapun
putra pertama adalah Walangsungsang. Kedua, putri Nyai Larang Santang. Ketiga,
Raja Sangara. Tidak mungkin Subang Larang dengan bebas membelajarkan ajaran
Islam secara terbuka dalam lingkungan istana. Oleh karena itu, Walangsungsang,
mempelopori meninggalkan istana dan berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung
Amparan Jati di Cirebon. Syekh Datuk Kahfi dikenal pula dengan nama Syekh
Nuruljati.
Dalam
pengajian dengan Syekh Nurjati, diwisuda dengan ditandai pergantian nama
menjadi Ki Somadullah. Kemudian membuka pedukuhan baru, Kebon Pesisir.
Kelanjutannya menikah dengan Nyai Kencana Larang putri Ki Gedeng Alang Alang.
Dari sini memperoleh gelar baru Ki Wirabumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar