Hutan Mangrove /
Bakau
A. Sifat
Hutan Mangrove / Bakau
Mangrove atau yang
secara umum dikenal sebagai hutan bakau adalah vegetasi yang tumbuh di atas
rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh
pasang surut air laut. Vegetasi ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi
pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik pada teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun
di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang diangkutnya dari hulu sungai. Oleh sebab itu mangrove juga
dikenal sebagai hutan payau atau hutan pasang surut.
Itulah
sifat-sifat dasar ekosistem mangrove, yaitu: tingkat pelumpuran yang
tinggi, kadar oksigen yang rendah, salinitas (kandungan garam) yang tinggi, dan
pengaruh daur pasang surut air laut. Sehingga ekosistem ini sangat
ekstrim sekaligus sangat dinamis dan termasuk yang paling cepat berubah,
terutama di bagian terluarnya. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang mampu bertahan hidup
di wilayah mangrove, dan
jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati
proses adaptasi dan evolusi
yang bukan sebentar.
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup
panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan
sedikit di wilayah subtropika. Misalnya di pantai utara
Teluk Meksiko, pantai tenggara Amerika Serikat, pantai barat Afrika, dan ke
selatan hingga pulau utara Selandia Baru. (Nybakken 1988).
Luas hutan bakau Indonesia berkisar antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar,
merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha),
Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 juta ha) (Spalding dkk. 1997 dalam
Noor dkk. 1999).
Itulah
sifat-sifat dasar ekosistem mangrove, yaitu: tingkat pelumpuran yang
tinggi, kadar oksigen yang rendah, salinitas (kandungan garam) yang tinggi, dan
pengaruh daur pasang surut air laut. Sehingga ekosistem ini sangat
ekstrim sekaligus sangat dinamis dan termasuk yang paling cepat berubah,
terutama di bagian terluarnya. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang mampu bertahan hidup
di wilayah mangrove, dan
jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati
proses adaptasi dan evolusi
yang bukan sebentar.
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup
panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan
sedikit di wilayah subtropika. Misalnya di pantai utara
Teluk Meksiko, pantai tenggara Amerika Serikat, pantai barat Afrika, dan ke
selatan hingga pulau utara Selandia Baru. (Nybakken 1988).
Luas hutan bakau Indonesia berkisar antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar,
merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha),
Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 juta ha) (Spalding dkk. 1997 dalam
Noor dkk. 1999).
B. Ekologi mangrove
Sebagaimana
ekosistem padang lamun, mangrove dikenal sebagai ekosistem
yang merekayasa sendiri habitatnya. Mula-mula barangkali sebatang atau
beberapa batang propagul, yakni kecambah pohon, bakau yang terapung-apung di
laut tersangkut di tepian pantai yang tenang. Dapat terjadi di sebuah
teluk yang terlindung, lekuk pantai, atau perairan di belakang deretan terumbu
karang. Di atas substrat lumpur, pasir atau pecahan karang kecil-kecil
yang dangkal, calon pohon itu mulai menjulurkan akar-akarnya sehingga menembus
dan mencengkeram substrat. Apabila pantai cukup tenang dan bersahabat,
propagul bakau dapat segera tumbuh dan membesar.
Jenis-jenis
bakau perintis seperti bakau betul (Rhizophora), api-api (Avicennia)
dan perepat (Sonneratia) memiliki akar yang kebanyakan dangkal saja,
namun efektif mencengkeram lumpur. Ditambah lagi dengan adanya jaringan
akar tunjang serta akar pena yang bermanfaat ganda, yakni penopang berdirinya
pohon dan sebagai alat bernafas (pneumatofor), untuk memperoleh oksigen
yang lebih banyak dari udara. Akar-akar ini pada gilirannya meredam
gempuran ombak dan memerangkap lebih banyak lagi sedimen serta sampah-sampah
laut di antara jalinannya yang ruwet.
Demikianlah,
semakin lama akan semakin banyak sedimen yang terperangkap, wilayah berlumpur
semakin stabil dan hutan bakau pun tumbuh semakin luas. Namun bagian
dalam hutan bakau kini semakin meninggi dan semakin kering, air laut pun semakin
jarang menyiraminya. Tidak lagi cocok sebagai tempat hidup jenis-jenis
mangrove pionir, bertahun-tahun kemudian bagian dalam hutan bakau ini kemudian
dikuasai oleh jenis-jenis mangrove pedalaman.
C. Vegetasi dan zonasi
Hutan
mangrove di Indonesia memiliki keragaman jenis yang tinggi. Tidak kurang
dari 202 spesies tumbuhan tercatat hidup di sini, 89 jenisnya berupa
pohon. Sementara itu, dari sekitar 60 spesies mangrove sejati yang
dikenal dunia, sebanyak 43 spesies didapati di Indonesia. (Noor dkk.
1999).
Jenis-jenis tetumbuhan hutan bakau bereaksi berbeda terhadap
variasi-variasi lingkungan fisik di habitatnya, sehingga memunculkan zona-zona
vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah sebagai
berikut.
1.
Jenis substrat.
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa
sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah
liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan
organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang
tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan
kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di
pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
2.
Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan
dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran
air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang.
Bagian yang agak serupa adalah hutan yang
berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi
sungai. Perbedaan-nya, salinitas di tepi aliran sungai tidak begitu tinggi, terutama di
bagian-bagian yang agak jauh dari muara.
3.
Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar hutan bakau juga mengalami genangan air pasang yang
paling lama dan
paling dalam dibandingkan dengan bagian yang lainnya; bahkan terkadang
terus menerus terendam. Sementara
itu, bagian-bagian di pedalaman hutan bakau mungkin hanya terendam air laut sekali
dua kali dalam sebulan manakala terjadi pasang tertinggi. Menghadapi
variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi
vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang
terpapar gelombang laut, hingga ke bagian pedalaman yang relatif kering. Jenis-jenis
bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap
digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata
tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia
alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang di
zona terluar atau zona pionir ini hidup pohon api-api putih (Avicennia alba).
Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang
tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis
kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan
lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa
ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris)
dan bintaro (Cerbera spp.). Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan
didapatkan
jenis-jenis nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera
racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria
agallocha).
D. Biota lain
Sebagai
wilayah pertemuan daratan dengan lautan, ekosistem mangrove bersifat
unik. Tajuk pepohonan hutan bakau menciptakan ruang utama bagi kehidupan
organisme darat. Sementara wilayah perakaran dan substrat di bawahnya
yang kerap digenangi air laut merupakan ruang kehidupan organisme laut.
Organisme
darat yang hidup di hutan bakau umumnya tidak bersifat khas, karena hewan-hewan
ini dapat pula hidup di bagian lain dari daratan. Hanya saja, dengan
hidup di wilayah mangrove, hewan-hewan ini dapat turun untuk mencari makanan ke
laut ke paparan lumpur ketika air menyurut.
Di
Indonesia, hewan daratan ini meliputi berbagai jenis mamalia, seperti monyet
kera (Macaca fascicularis), monyet bekantan (Nasalis larvatus),
lutung Jawa (Semnopithecus auratus), kalong (Pteropus vampyrus)
dan beberapa jenis kelelawar lainnya. Gajah Sumatra (Elephas maximus)
dan harimau (Panthera tigris) juga diketahui mengembara sampai ke
wilayah mangrove. Beberapa spesies seperti berang-berang cakar kecil (Aonyx
cinerea) dan kucing bakau (Felis viverrina) cukup jauh beradaptasi
dengan lingkungan hutan bakau.
Banyak jenis
burung yang hidup di kawasan mangrove baik sebagai penetap maupun
pengunjung. Jenis-jenis yang dominan bersarang di hutan bakau misalnya
dari suku bangau (Ciconiidae), ibis (Threskiornithidae) dan kuntul (Ardeidae),
di samping aneka jenis burung pengicau kecil yang umum didapati di hutan-hutan
pesisir. Jenis-jenis pengunjung termasuk aneka jenis burung merandai dari
suku trulek (Charadriidae), trinil (Scolopacidae) dan wili-wili (Burhinidae),
yang kerap memenuhi paparan lumpur di muka dan di sekitar hutan mangrove
tatkala surut airnya. Dari golongan reptil terutama adalah jenis-jenis penghuni
pohon seperti beberapa spesies bunglon (Calotes spp.), cecak terbang (Draco),
ular cincin mas (Boiga) dan ular bangkai laut (Trimeresurus).
Di samping pula beberapa reptil penghuni perairan atau rawa seperti ular bakau
(Fordonia), ular karung (Acrochordus), ular tambak (Cerberus),
biawak (Varanus) dan buaya muara (Crocodylus porosus).
Organisme
laut di kawasan mangrove didominasi oleh moluska, jenis-jenis ketam dan udang
tertentu dan beberapa spesies ikan khas. Organisme ini dapat dibedakan
atas dua golongan, yaitu yang menempati lumpur dan yang hidup pada substrat
yang keras seperti pada perakaran pohon-pohon bakau yang berada di atas lapisan
lumpur.
Cacing dan
aneka jenis kepiting membuat lubang di lapisan lumpur di antara perakaran
bakau. Cacing laut Nereis, ketam binatu (Uca), kepiting
hantu (Ocypode), udang lumpur (Thalassina) dan beberapa jenis
yang lain adalah contohnya. Termasuk pula beberapa yang memiliki nilai
ekonomi seperti halnya kepiting bakau (Scylla serrata).
Di
permukaan lumpur hidup beberapa jenis siput (Cerithidea, Telescopium,
Terebralia dll.), tiram dan juga ikan gelodok atau belodok (Periopthalmus)
beserta kerabatnya. Ikan ini berperilaku unik, karena tidak seperti
lazimnya ikan, ikan gelodok senang melompat-lompat atau �berjalan� dengan kedua siripnya di atas
lumpur yang mengering, bahkan juga memanjat-manjat ke atas akar bakau.
Sesekali, setiap beberapa saat, ikan ini meluncur ke genangan air terdekat
untuk membasahi insangnya. Ikan gelodok bersarang di lubang-lubang
lumpur. Beberapa jenis siput (Nerita, Littorina, Brachyodontes), tiram (Crassostrea)
dan teritip (Balanus, Chthamalus) hidup melekat pada akar-akar pohon
bakau, hingga ketinggian lebih dari semeter di atas permukaan lumpur.
Di samping
itu, perairan mangrove juga dikunjungi oleh aneka jenis ikan ketika air
pasang. Misalnya ikan belanak (Mugil), belosoh (Cassostrea),
beberapa jenis udang (Penaeus) dan kepiting (Callinectes).
Hutan bakau juga merupakan tempat mengasuh (nursery ground) untuk banyak
jenis tempayak udang (benur) dan ikan (nener), sebagaimana halnya ikan bandeng
(Chanos).
E. Ancaman dan Kerusakan
Hutan-hutan
bakau menghadapi banyak ancaman dan kerusakan yang bisa membawa
kepunahan. Ancaman itu ditimbulkan baik oleh penyebab-penyebab alami
maupun oleh manusia. Namun ancaman kegiatan manusialah yang berpengaruh
paling besar dan paling menentukan terhadap kelestarian hutan mangrove.
Sekitar
95% hutan mangrove di Kalimantan ternyata telah dimasukkan ke wilayah konsesi
HPH (hak pengusahaan hutan) (Burbridge and Koesoebiono 1980 dalam MacKinnon
dkk. 1996). Sementara hanya kurang dari 1% luas yang telah dilindungi
dalam kawasan-kawasan konservasi (MacKinnon and Artha 1981 dalam MacKinnon
dkk. 1996). Artinya, sebagian besar kawasan mangrove itu dapat saja
ditebang sewaktu-waktu untuk kebutuhan produksi.
Berbagai
tumbuhan dari hutan mangrove dimanfaatkan orang untuk bermacam-macam
keperluan. Kayu bakau berkualitas baik sebagai bahan bangunan dan kayu
bakar, beberapa jenisnya digunakan sebagai bahan arang. Kayu bakau juga
menghasilkan serat yang baik untuk membuat kertas. Kulit kayunya
dimanfaatkan sebagai penghasil zat penyamak.
Kondisi
yang paling berat, kawasan hutan bakau seringkali dibuka orang untuk diubah
menjadi wilayah pertambakan, tambak garam, lahan pertanian dan bahkan
permukiman. Hutan-hutan bakau di Lampung dan di utara Jawa adalah
buktinya. Di daerah pantai utara Jawa, hutan-hutan bakau yang masih baik
tinggal sedikit di beberapa tempat saja. Kebanyakan berada di kawasan
konservasi seperti cagar alam atau taman nasional; atau di kawasan hutan
negara.
Di luar
wilayah-wilayah itu, praktis telah habis oleh aktivitas manusia, dan bukan
hanya oleh rakyat miskin. Wilayah rawa bakau yang luas di utara Jakarta,
yakni antara Muara Angke dengan Muara Kamal, kini sebagian besar telah dibuka
untuk membangun pemukiman mewah dan lapangan golf. Rawa-rawa bakau di
sebelah timurnya bahkan telah lama diubah menjadi Taman Impian Jaya Ancol,
suatu tempat rekreasi terkenal. Sedangkan mangrove di sekitar Surabaya
banyak yang diubah menjadi kawasan industri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar