Kamis, 05 September 2013

Hutan Mangrove / Bakau


Hutan Mangrove / Bakau
A.    Sifat Hutan Mangrove / Bakau
Mangrove atau yang secara umum dikenal sebagai hutan bakau adalah vegetasi yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Vegetasi ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik pada teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang diangkutnya dari hulu sungai.  Oleh sebab itu mangrove juga dikenal sebagai hutan payau atau hutan pasang surut.
Itulah sifat-sifat dasar ekosistem mangrove, yaitu:  tingkat pelumpuran yang tinggi, kadar oksigen yang rendah, salinitas (kandungan garam) yang tinggi, dan pengaruh daur pasang surut air laut.  Sehingga ekosistem ini sangat ekstrim sekaligus sangat dinamis dan termasuk yang paling cepat berubah, terutama di bagian terluarnya.  Hanya sedikit jenis tumbuhan yang mampu bertahan hidup di wilayah mangrove, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi yang bukan sebentar.
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di wilayah subtropika.  Misalnya di pantai utara Teluk Meksiko, pantai tenggara Amerika Serikat, pantai barat Afrika, dan ke selatan hingga pulau utara Selandia Baru. (Nybakken 1988).
Luas hutan bakau Indonesia berkisar antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 juta ha) (Spalding dkk. 1997 dalam Noor dkk. 1999).
Itulah sifat-sifat dasar ekosistem mangrove, yaitu:  tingkat pelumpuran yang tinggi, kadar oksigen yang rendah, salinitas (kandungan garam) yang tinggi, dan pengaruh daur pasang surut air laut.  Sehingga ekosistem ini sangat ekstrim sekaligus sangat dinamis dan termasuk yang paling cepat berubah, terutama di bagian terluarnya.  Hanya sedikit jenis tumbuhan yang mampu bertahan hidup di wilayah mangrove, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi yang bukan sebentar.
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di wilayah subtropika.  Misalnya di pantai utara Teluk Meksiko, pantai tenggara Amerika Serikat, pantai barat Afrika, dan ke selatan hingga pulau utara Selandia Baru. (Nybakken 1988).
Luas hutan bakau Indonesia berkisar antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 juta ha) (Spalding dkk. 1997 dalam Noor dkk. 1999).
B.     Ekologi mangrove
Sebagaimana ekosistem padang lamun, mangrove dikenal sebagai ekosistem yang merekayasa sendiri habitatnya.  Mula-mula barangkali sebatang atau beberapa batang propagul, yakni kecambah pohon, bakau yang terapung-apung di laut tersangkut di tepian pantai yang tenang.  Dapat terjadi di sebuah teluk yang terlindung, lekuk pantai, atau perairan di belakang deretan terumbu karang.  Di atas substrat lumpur, pasir atau pecahan karang kecil-kecil yang dangkal, calon pohon itu mulai menjulurkan akar-akarnya sehingga menembus dan mencengkeram substrat.  Apabila pantai cukup tenang dan bersahabat, propagul bakau dapat segera tumbuh dan membesar.
Jenis-jenis bakau perintis seperti bakau betul (Rhizophora), api-api (Avicennia) dan perepat (Sonneratia) memiliki akar yang kebanyakan dangkal saja, namun efektif mencengkeram lumpur.  Ditambah lagi dengan adanya jaringan akar tunjang serta akar pena yang bermanfaat ganda, yakni penopang berdirinya pohon dan sebagai alat bernafas (pneumatofor), untuk memperoleh oksigen yang lebih banyak dari udara.  Akar-akar ini pada gilirannya meredam gempuran ombak dan memerangkap lebih banyak lagi sedimen serta sampah-sampah laut di antara jalinannya yang ruwet.
Demikianlah,  semakin lama akan semakin banyak sedimen yang terperangkap, wilayah berlumpur semakin stabil dan hutan bakau pun tumbuh semakin luas.  Namun bagian dalam hutan bakau kini semakin meninggi dan semakin kering, air laut pun semakin jarang menyiraminya.  Tidak lagi cocok sebagai tempat hidup jenis-jenis mangrove pionir, bertahun-tahun kemudian bagian dalam hutan bakau ini kemudian dikuasai oleh jenis-jenis mangrove pedalaman.




C.    Vegetasi dan zonasi
Hutan mangrove di Indonesia memiliki keragaman jenis yang tinggi.  Tidak kurang dari 202  spesies tumbuhan tercatat hidup di sini, 89 jenisnya berupa pohon.  Sementara itu, dari sekitar 60 spesies mangrove sejati yang dikenal dunia, sebanyak 43 spesies didapati di Indonesia.  (Noor dkk. 1999).
Jenis-jenis tetumbuhan hutan bakau bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di habitatnya, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Jenis substrat.
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
2.      Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang.
Bagian yang agak serupa adalah   hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaan-nya, salinitas di tepi aliran sungai tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara.
3.      Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar hutan bakau juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dan paling dalam dibandingkan dengan bagian yang lainnya; bahkan terkadang terus menerus terendam. Sementara itu, bagian-bagian di pedalaman hutan bakau mungkin hanya terendam air laut sekali dua kali dalam sebulan manakala terjadi pasang tertinggi. Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke bagian pedalaman yang relatif kering. Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang di zona terluar atau zona pionir ini hidup pohon api-api putih (Avicennia alba).
Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.). Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan jenis-jenis nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).
D.    Biota lain
Sebagai wilayah pertemuan daratan dengan lautan, ekosistem mangrove bersifat unik.  Tajuk pepohonan hutan bakau menciptakan ruang utama bagi kehidupan organisme darat.  Sementara wilayah perakaran dan substrat di bawahnya yang kerap digenangi air laut merupakan ruang kehidupan organisme laut.
Organisme darat yang hidup di hutan bakau umumnya tidak bersifat khas, karena hewan-hewan ini dapat pula hidup di bagian lain dari daratan.  Hanya saja, dengan hidup di wilayah mangrove, hewan-hewan ini dapat turun untuk mencari makanan ke laut ke paparan lumpur ketika air menyurut.
Di Indonesia, hewan daratan ini meliputi berbagai jenis mamalia, seperti monyet kera (Macaca fascicularis), monyet bekantan (Nasalis larvatus), lutung Jawa (Semnopithecus auratus), kalong (Pteropus vampyrus) dan beberapa jenis kelelawar lainnya.  Gajah Sumatra (Elephas maximus) dan harimau (Panthera tigris) juga diketahui mengembara sampai ke wilayah mangrove.  Beberapa spesies seperti berang-berang cakar kecil (Aonyx cinerea) dan kucing bakau (Felis viverrina) cukup jauh beradaptasi dengan lingkungan hutan bakau.
Banyak jenis burung yang hidup di kawasan mangrove baik sebagai penetap maupun pengunjung.  Jenis-jenis yang dominan bersarang di hutan bakau misalnya dari suku bangau (Ciconiidae), ibis (Threskiornithidae) dan kuntul (Ardeidae), di samping aneka jenis burung pengicau kecil yang umum didapati di hutan-hutan pesisir.  Jenis-jenis pengunjung termasuk aneka jenis burung merandai dari suku trulek (Charadriidae), trinil (Scolopacidae) dan wili-wili (Burhinidae), yang kerap memenuhi paparan lumpur di muka dan di sekitar hutan mangrove tatkala surut airnya. Dari golongan reptil terutama adalah jenis-jenis penghuni pohon seperti beberapa spesies bunglon (Calotes spp.), cecak terbang (Draco), ular cincin mas (Boiga) dan ular bangkai laut (Trimeresurus).  Di samping pula beberapa reptil penghuni perairan atau rawa seperti ular bakau (Fordonia), ular karung (Acrochordus), ular tambak (Cerberus), biawak (Varanus) dan buaya muara (Crocodylus porosus).
Organisme laut di kawasan mangrove didominasi oleh moluska, jenis-jenis ketam dan udang tertentu dan beberapa spesies ikan khas.  Organisme ini dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu yang menempati lumpur dan yang hidup pada substrat yang keras seperti pada perakaran pohon-pohon bakau yang berada di atas lapisan lumpur.
Cacing dan aneka jenis kepiting membuat lubang di lapisan lumpur di antara perakaran bakau.  Cacing laut Nereis, ketam binatu (Uca), kepiting hantu (Ocypode), udang lumpur (Thalassina) dan beberapa jenis yang lain adalah contohnya.  Termasuk pula beberapa yang memiliki nilai ekonomi seperti halnya kepiting bakau (Scylla serrata).
Di permukaan lumpur hidup beberapa jenis siput (Cerithidea, Telescopium, Terebralia dll.), tiram dan juga ikan gelodok atau belodok (Periopthalmus) beserta kerabatnya.  Ikan ini berperilaku unik, karena tidak seperti lazimnya ikan, ikan gelodok senang melompat-lompat atau berjalan dengan kedua siripnya di atas lumpur yang mengering, bahkan juga memanjat-manjat ke atas akar bakau.  Sesekali, setiap beberapa saat, ikan ini meluncur ke genangan air terdekat untuk membasahi insangnya.  Ikan gelodok bersarang di lubang-lubang lumpur. Beberapa jenis siput (Nerita, Littorina, Brachyodontes), tiram (Crassostrea) dan teritip (Balanus, Chthamalus) hidup melekat pada akar-akar pohon bakau, hingga ketinggian lebih dari semeter di atas permukaan lumpur.
Di samping itu, perairan mangrove juga dikunjungi oleh aneka jenis ikan ketika air pasang.  Misalnya ikan belanak (Mugil), belosoh (Cassostrea), beberapa jenis udang (Penaeus) dan kepiting (Callinectes).  Hutan bakau juga merupakan tempat mengasuh (nursery ground) untuk banyak jenis tempayak udang (benur) dan ikan (nener), sebagaimana halnya ikan bandeng (Chanos).



E.     Ancaman dan Kerusakan
Hutan-hutan bakau menghadapi banyak ancaman dan kerusakan yang bisa membawa kepunahan.  Ancaman itu ditimbulkan baik oleh penyebab-penyebab alami maupun oleh manusia.  Namun ancaman kegiatan manusialah yang berpengaruh paling besar dan paling menentukan terhadap kelestarian hutan mangrove.
Sekitar 95% hutan mangrove di Kalimantan ternyata telah dimasukkan ke wilayah konsesi HPH (hak pengusahaan hutan) (Burbridge and Koesoebiono 1980 dalam MacKinnon dkk. 1996).  Sementara hanya kurang dari 1% luas yang telah dilindungi dalam kawasan-kawasan konservasi (MacKinnon and Artha 1981 dalam MacKinnon dkk. 1996).  Artinya, sebagian besar kawasan mangrove itu dapat saja ditebang sewaktu-waktu untuk kebutuhan produksi.
Berbagai tumbuhan dari hutan mangrove dimanfaatkan orang untuk bermacam-macam keperluan.  Kayu bakau berkualitas baik sebagai bahan bangunan dan kayu bakar, beberapa jenisnya digunakan sebagai bahan arang.  Kayu bakau juga menghasilkan serat yang baik untuk membuat kertas.  Kulit kayunya dimanfaatkan sebagai penghasil zat penyamak.
Kondisi yang paling berat, kawasan hutan bakau seringkali dibuka orang untuk diubah menjadi wilayah pertambakan, tambak garam, lahan pertanian dan bahkan permukiman.  Hutan-hutan bakau di Lampung dan di utara Jawa adalah buktinya.  Di daerah pantai utara Jawa, hutan-hutan bakau yang masih baik tinggal sedikit di beberapa tempat saja.  Kebanyakan berada di kawasan konservasi seperti cagar alam atau taman nasional;  atau di kawasan hutan negara. 
Di luar wilayah-wilayah itu, praktis telah habis oleh aktivitas manusia, dan bukan hanya oleh rakyat miskin.  Wilayah rawa bakau yang luas di utara Jakarta, yakni antara Muara Angke dengan Muara Kamal, kini sebagian besar telah dibuka untuk membangun pemukiman mewah dan lapangan golf.  Rawa-rawa bakau di sebelah timurnya bahkan telah lama diubah menjadi Taman Impian Jaya Ancol, suatu tempat rekreasi terkenal.  Sedangkan mangrove di sekitar Surabaya banyak yang diubah menjadi kawasan industri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar