Kuda Lumping
A. Asal
– usul / sejarah
Kuda Lumping/Jaranan adalah
seni tari yang dimainkan dengan menaiki kuda tiruan yang terbuat dari anyaman
bambu (kepang). Dalam memainkan seni ini biasanya juga diiringi dengan musik
khusus yang sederhana yaitu dengan gong, kenong, kendang dan slompret (alat
musik tradisional).
Tidak diketahui secara pasti
mengenai asal-usul permainan ini, karena telah disebut oleh banyak daerah
sebagai kekayaan budayanya. Hal ini terjadi karena si pencetusnya tidak
mematenkan permainan ini sehingga bisa dimainkan oleh siapapun. Di Jawa Timur
saja seni ini akrab dengan masyarakat dibeberapa daerah, sebut saja Blitar,
Malang, Nganjuk dan Tulungagung, disamping daerah-daerah lainnya. Jika dilihat
dari model permainan ini, yang menggunakan kekuatan dan kedigdayaan, besar
kemungkinan berasal dari daerah-daerah kerajaan di Jawa.
Panggung rakyat dan perlawanan
terhadap penguasa pada masa kekuasaan pemerintahan Jawa dijalankan dibawah
kerajaan, aspirasi dan ruang bergumul rakyat begitu dibatasi, karena perbedaan
kelas dan alasan kestabilan kerajaan. Dan dalam kondisi tertekan, rakyat
tidaklah mungkin melakukan perlawanan secara langsung terhadap penguasa. Rakyat
sadar bahwa untuk melakukan perlawanan, tidak cukup hanya dengan bermodalkan
cangkul dan parang, namun dibutuhkan kekuatan dan kedigdayaan serta logistik
yang cukup. Menyadari hal itu, akhirnya luapan perlawanan yang berupa sindiran
diwujudkan dalam bentuk kesenian, yaitu kuda lumping. Sebagai tontonan dengan
mengusung nilai-nilai perlawanan, sebenarnya kuda lumping juga dimaksudkan
untuk menyajikan tontonan yang murah untuk rakyat. Disebut sebagai tontonan
yang murah meriah karena untuk memainkannya tidak perlu menghadirkan peralatan
musik yang banyak sebagaimana karawitan. Diplih kuda, karena kuda adalah simbol
kekuatan dan kekuasaan para elit bangsawan dan prajurit kerajaan ketika itu
yang tidak dimiliki oleh rakyat jelata. Permainan Kuda Lumping dimainkan dengan
tanpa mengikuti pakem seni tari yang sudah ada dan berkembang dilingkungan
ningrat dan kerajaan. Dari gerakan tarian pemainnya tanpa menggunakan pakem
yang sudah mapan sebelumnya menunjukkan bahwa seni ini hadir untuk memberikan
perlawanan terhadap kemapanan kerajaan.
Selain sebagai media
perlawanan, seni Kuda Lumping juga dipakai oleh para ulama sebagai media
dakwah, karena kesenian Kuda Lumping merupakan suatu kesenian yang murah dan
cukup digemari oleh semua kalangan masyarakat, seperti halnya Sunan Kalijogo
yang menyebarkan Islam atau dakwahnya lewat kesenian Wayang Kulit dan Dandang
Gulo, beliau dan para ulama jawa juga menyebarkan dakwahnya melalui
kesenian-kesenian lain yang salah satunya adalah seni kuda lumping,
Bukti bahwa kesenian ini
adalah kesenian yang mempunyai sifat dakwah adalah dapat dilihat dari isi
cerita yang ditunjukan oleh karakter para tokoh yang ada dalam tarian Kuda
Lumping, tokoh-tokoh itu antara lain para prajurit berkuda, Barongan dan
Celengan. Dalam kisahnya para tokoh tersebut masing-masing mempunyai sifat dan
karakter yang berbeda, simbul Kuda menggambarkan suatu sifat keperkasaan yang
penuh semangat, pantang menyerah, berani dan selalu siap dalam kondisi serta
keadaan apapun, simbol kuda disini dibuat dari anyaman bambu, anyaman bambu ini
memiliki makna, dalam kehidupan manusia ada kalannya sedih, susah dan senang,
seperti halnya dengan anyaman bambu kadang diselipkan ke atas kadang diselipkan
ke bawah, kadang ke kanan juga ke kiri, semua sudah ditakdirkan oleh Yang
Kuasa, tinggal manusia mampu atau tidak menjalani takdir kehidupan yang telah
digariskanNya, Barongan dengan raut muka yang menyeramkan, matanya membelalak
bengis dan buas, hidungnya besar, gigi besar bertaring serta gaya gerakan tari
yang seolah-olah menggambarkan bahwa dia adalah sosok yang sangat berkuasa dan
mempunyai sifat adigang, adigung, adiguno yaitu sifat semaunnya sendiri, tidak
kenal sopan santun dan angkuh, simbul Celengan atau Babi hutan dengan gayanya
yang sludar-sludur lari kesana kemari dan memakan dengan rakus apa saja yang
ada dihadapanya tanpa peduli bahwa makanan itu milik atau hak siapa, yang penting
ia kenyang dan merasa puas, seniman kuda lumping mengisyaratkan bahwa orang
yang rakus diibaratkan seperti Celeng atau Babi hutan.
Sifat dari para tokoh yang
diperankan dalam seni tari kuda lumping merupakan pangilon atau gambaran dari
berbagai macam sifat yang ada dalam diri manusia. Para seniman kuda lumping
memberikan isyarat kepada manusia bahwa didunia ini ada sisi buruk dan sisi
baik, tergantung manusianya tinggal ia memilih sisi yang mana, kalau dia
bertindak baik berarti dia memilih semangat kuda untuk dijadikan motifasi dalam
hidup, bila sebaliknya berarti ia memlih semangat dua tokoh berikutnya yaitu
Barongan dan Celengan atau babi hutan.
B. Sejarah dan Perkembangan Kuda Lumping
Kesenian Kuda Lumping berasal dari
daerah Ponorogo Jawa Timur. Menurut sebuah
legenda, Raja Ponorogo selalu kalah dalam peperangan. Sang raja masygul dan gundah. Akhirnya ia pergi ke sebuah pertapaan.
Ketika sedang khusu-khusunya memohon
kepada Dewa Jawata Sang Marasanga, ia dikejutkan oleh suara tankatingalan. Suara
itu ternyata wangsit dari Sang Jawata. Isinya apabila raja ingin menang perang,
ia harus menyiapkan sepasukan berkuda.
Ketika pergi ke medan perang, para prajurit penunggang kuda itu diiringi
dengan "bande" dan rawe-rawe.
Konon, bande dan rawe-rawe itu menggugah
semangat menyala membabi buta di kalangan para prajurit penunggang kuda. Ketika bertempur mereka mabuk
tidak sadarkan diri tapi dengan semangat keberanian yang luar biasa menyerang
musuh-musuhnya.
Demikianlah dalam setiap peperangan para prajurit bergerak dalam keadaan kalap dan memenggal kepala
musuh-musuhnya dengan kekuatan yang tangguh. Akhimya. lasykar Raja selalu memperoleh kemenangan.
Untuk menghormati Dewa sang pemberi wangsit
dan memperingati kemenangan demi
kemenangan kemudian setiap
tahun diadakan upacara kebaktian dengan suguhan acara berupa tarian menunggang kuda-kudaan
yang menggambarkan kepahlawanan, sebagai suatu prosesi
dari prajurit penunggang kuda yang kalap dan menyerbu
musuh-musuhnya. Selanjutnya tarian menunggang kuda-kudaan itu berubah menjadi sebuah kesenian yang digemari masyarakat.
Tarian itu kemudian diberi nama Kuda Lumping.
Kapan kesenian Kuda Lumping sampai di
daerah Banten ? Tidak bisa ditentukan waktunya secara tepat. Sebabnya, selain kurangnya kesadaran
menulis sejarah di kalangan
bangsa kita terutama lagi sejarah kesenian tradisional seni-seni rakyat sudah merupakan budaya yang hidup. Hanya saja kita dapat
menduga-duga. Karena kesenian ini berasal dari suku Jawa, diperkirakan kesenian
Kuda Lumping ini dibawakan oleh orang-orang
Jawa ketika datang di daerah Banten. Persis seperti di daerah-daerah lainnya, kesenian Kuda Lumping di daerah Sukabumi,
misalnya saja, hidup di tengah-tengah masyarakat suku Jawa di Kecamatan
Ciracap (bagian selatan Kabupaten Sukabumi). Orang-orang
Jawa Ciracap doidatangkan di daerah Sukabumi oleh Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan Belanda. Di
antara rombongan migrasi itu ternyata
ada orang yang terampil bermain Kuda Lumping. Dad sinilah kesenian Kuda Lumping itu kemudian hidup di daerah Sukabumi.
Demikian halnya dengan di daerah
Banten, seperti halnya di sepanjang pantai utara dan selatan Jawa Barat yang
didominasi masyarakat berbahasa Jawa, daerah pantai utara dan selatan Provinsi Banten pun
didominasi atau sedikitnya banyak terdapat masyarakat
berbahasa Jawa. Kesenian Kuda Lumping hidup dan berkembang di tengahtengah masyarakat Jawa, walau di kemudian hari
menjadi bagian tak terpisahkan dari kesenian masyarakat banten secara
keseluruhan.
C. Daerah Penyebaran Kuda Lumping
Kesenian Kuda Lumping tersebar di
daerah-daerah yang masyarakatnya dipandang masih berpegang pada tradisi kejawen, dalam
arti masyarakat yang masih kuat mempercayai kekuatan-kekuatan magic dan komunitas Islam
Abangan. Daerah di sini bukan dalam
artian geografis, melainkan lebih sebagai orang perorangan maupun komunitas yang tersebar dan menyatu dengan komunitas
lainnya. Tapi di Banten tradisi magic sudah
tumbuh. Seni debus jelas sekali mempertunjukan kebolehan pemain dalam menggunakan kekuatan magic Oleh karena itu
kesenian Kuda Lumping tersebar di daerah-daerah
di mana seni debus hidup.
D. Tahap Seni Tari Kuda Lumping
Dalam setiap pagelarannya, tari kuda
lumping ini menghadirkan 4 fragmen tarian yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari
Senterewe, dan tari Begon Putri. Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan
oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari
muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada
bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami ini. Banyak warga sekitar
yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para
penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik
dan terlihat kompak dengan para penari lainnya. Untuk memulihkan kesadaran para
penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para
datuk, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat
dikenali melalui baju serba hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan
memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih. Pada
fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari
senterewe. Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai,
enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup
dari seluruh rangkaian atraksi tari kuda lumping.
Kuda Lumping
Ada suatu permainan
Permainan unik sekali
Orang naik kuda, tapi
kuda bohong
Namanya kuda lumping
Anehnya permainan ini
Anehnya permainan ini
Orangnya bisa lupa diri
Dia makan rumput, juga
makan kaca
Aduhai ngeri sekali
Itu kuda lumping, kuda lumping
Itu kuda lumping, kuda lumping
Kuda lumping, kesurupan
Itu kuda lumping, kuda
lumping
Kuda lumping, loncat-loncatan
Awas jangan dekat-dekat
Awas jangan dekat-dekat
Melihat permainan ini
Karena akibatnya bisa
berbahaya
Itulah kuda lumping
Anehnya permainan ini
Anehnya permainan ini
Orangnya bisa lupa diri
Dia makan rumput, juga
makan becaAduhai ngeri sekali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar