Kamis, 05 September 2013

Kuda Lumping


Kuda Lumping
A.    Asal – usul / sejarah
Kuda Lumping/Jaranan adalah seni tari yang dimainkan dengan menaiki kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu (kepang). Dalam memainkan seni ini biasanya juga diiringi dengan musik khusus yang sederhana yaitu dengan gong, kenong, kendang dan slompret (alat musik tradisional).
Tidak diketahui secara pasti mengenai asal-usul permainan ini, karena telah disebut oleh banyak daerah sebagai kekayaan budayanya. Hal ini terjadi karena si pencetusnya tidak mematenkan permainan ini sehingga bisa dimainkan oleh siapapun. Di Jawa Timur saja seni ini akrab dengan masyarakat dibeberapa daerah, sebut saja Blitar, Malang, Nganjuk dan Tulungagung, disamping daerah-daerah lainnya. Jika dilihat dari model permainan ini, yang menggunakan kekuatan dan kedigdayaan, besar kemungkinan berasal dari daerah-daerah kerajaan di Jawa.
Panggung rakyat dan perlawanan terhadap penguasa pada masa kekuasaan pemerintahan Jawa dijalankan dibawah kerajaan, aspirasi dan ruang bergumul rakyat begitu dibatasi, karena perbedaan kelas dan alasan kestabilan kerajaan. Dan dalam kondisi tertekan, rakyat tidaklah mungkin melakukan perlawanan secara langsung terhadap penguasa. Rakyat sadar bahwa untuk melakukan perlawanan, tidak cukup hanya dengan bermodalkan cangkul dan parang, namun dibutuhkan kekuatan dan kedigdayaan serta logistik yang cukup. Menyadari hal itu, akhirnya luapan perlawanan yang berupa sindiran diwujudkan dalam bentuk kesenian, yaitu kuda lumping. Sebagai tontonan dengan mengusung nilai-nilai perlawanan, sebenarnya kuda lumping juga dimaksudkan untuk menyajikan tontonan yang murah untuk rakyat. Disebut sebagai tontonan yang murah meriah karena untuk memainkannya tidak perlu menghadirkan peralatan musik yang banyak sebagaimana karawitan. Diplih kuda, karena kuda adalah simbol kekuatan dan kekuasaan para elit bangsawan dan prajurit kerajaan ketika itu yang tidak dimiliki oleh rakyat jelata. Permainan Kuda Lumping dimainkan dengan tanpa mengikuti pakem seni tari yang sudah ada dan berkembang dilingkungan ningrat dan kerajaan. Dari gerakan tarian pemainnya tanpa menggunakan pakem yang sudah mapan sebelumnya menunjukkan bahwa seni ini hadir untuk memberikan perlawanan terhadap kemapanan kerajaan.
Selain sebagai media perlawanan, seni Kuda Lumping juga dipakai oleh para ulama sebagai media dakwah, karena kesenian Kuda Lumping merupakan suatu kesenian yang murah dan cukup digemari oleh semua kalangan masyarakat, seperti halnya Sunan Kalijogo yang menyebarkan Islam atau dakwahnya lewat kesenian Wayang Kulit dan Dandang Gulo, beliau dan para ulama jawa juga menyebarkan dakwahnya melalui kesenian-kesenian lain yang salah satunya adalah seni kuda lumping,
Bukti bahwa kesenian ini adalah kesenian yang mempunyai sifat dakwah adalah dapat dilihat dari isi cerita yang ditunjukan oleh karakter para tokoh yang ada dalam tarian Kuda Lumping, tokoh-tokoh itu antara lain para prajurit berkuda, Barongan dan Celengan. Dalam kisahnya para tokoh tersebut masing-masing mempunyai sifat dan karakter yang berbeda, simbul Kuda menggambarkan suatu sifat keperkasaan yang penuh semangat, pantang menyerah, berani dan selalu siap dalam kondisi serta keadaan apapun, simbol kuda disini dibuat dari anyaman bambu, anyaman bambu ini memiliki makna, dalam kehidupan manusia ada kalannya sedih, susah dan senang, seperti halnya dengan anyaman bambu kadang diselipkan ke atas kadang diselipkan ke bawah, kadang ke kanan juga ke kiri, semua sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa, tinggal manusia mampu atau tidak menjalani takdir kehidupan yang telah digariskanNya, Barongan dengan raut muka yang menyeramkan, matanya membelalak bengis dan buas, hidungnya besar, gigi besar bertaring serta gaya gerakan tari yang seolah-olah menggambarkan bahwa dia adalah sosok yang sangat berkuasa dan mempunyai sifat adigang, adigung, adiguno yaitu sifat semaunnya sendiri, tidak kenal sopan santun dan angkuh, simbul Celengan atau Babi hutan dengan gayanya yang sludar-sludur lari kesana kemari dan memakan dengan rakus apa saja yang ada dihadapanya tanpa peduli bahwa makanan itu milik atau hak siapa, yang penting ia kenyang dan merasa puas, seniman kuda lumping mengisyaratkan bahwa orang yang rakus diibaratkan seperti Celeng atau Babi hutan.
Sifat dari para tokoh yang diperankan dalam seni tari kuda lumping merupakan pangilon atau gambaran dari berbagai macam sifat yang ada dalam diri manusia. Para seniman kuda lumping memberikan isyarat kepada manusia bahwa didunia ini ada sisi buruk dan sisi baik, tergantung manusianya tinggal ia memilih sisi yang mana, kalau dia bertindak baik berarti dia memilih semangat kuda untuk dijadikan motifasi dalam hidup, bila sebaliknya berarti ia memlih semangat dua tokoh berikutnya yaitu Barongan dan Celengan atau babi hutan.
B.     Sejarah dan Perkembangan Kuda Lumping
Kesenian Kuda Lumping berasal dari daerah Ponorogo Jawa Timur. Menurut sebuah legenda, Raja Ponorogo selalu kalah dalam peperangan. Sang raja masygul dan gundah. Akhirnya ia pergi ke sebuah pertapaan. Ketika sedang khusu-khusunya memohon kepada Dewa Jawata Sang Marasanga, ia dikejutkan oleh suara tankatingalan. Suara itu ternyata wangsit dari Sang Jawata. Isinya apabila raja ingin menang perang, ia harus menyiapkan sepasukan berkuda. Ketika pergi ke medan perang, para prajurit penunggang kuda itu diiringi dengan "bande" dan rawe-rawe.
Konon, bande dan rawe-rawe itu menggugah semangat menyala membabi buta di kalangan para prajurit penunggang kuda. Ketika bertempur mereka mabuk tidak sadarkan diri tapi dengan semangat keberanian yang luar biasa menyerang musuh­-musuhnya. Demikianlah dalam setiap peperangan para prajurit bergerak dalam keadaan kalap dan memenggal kepala musuh-musuhnya dengan kekuatan yang tangguh. Akhimya. lasykar Raja selalu memperoleh kemenangan.
Untuk menghormati Dewa sang pemberi wangsit dan memperingati kemenangan demi kemenangan kemudian setiap tahun diadakan upacara kebaktian dengan suguhan acara berupa tarian menunggang kuda-kudaan yang menggambarkan kepahlawanan, sebagai suatu prosesi dari prajurit penunggang kuda yang kalap dan menyerbu musuh-musuhnya. Selanjutnya tarian menunggang kuda-kudaan itu berubah menjadi sebuah kesenian yang digemari masyarakat. Tarian itu kemudian diberi nama Kuda Lumping.
Kapan kesenian Kuda Lumping sampai di daerah Banten ? Tidak bisa ditentukan waktunya secara tepat. Sebabnya, selain kurangnya kesadaran menulis sejarah di kalangan bangsa kita terutama lagi sejarah kesenian tradisional seni-seni rakyat sudah merupakan budaya yang hidup. Hanya saja kita dapat menduga-duga. Karena kesenian ini berasal dari suku Jawa, diperkirakan kesenian Kuda Lumping ini dibawakan oleh orang-orang Jawa ketika datang di daerah Banten. Persis seperti di daerah-daerah lainnya, kesenian Kuda Lumping di daerah Sukabumi, misalnya saja, hidup di tengah-tengah masyarakat suku Jawa di Kecamatan Ciracap (bagian selatan Kabupaten Sukabumi). Orang-orang Jawa Ciracap doidatangkan di daerah Sukabumi oleh Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan Belanda. Di antara rombongan migrasi itu ternyata ada orang yang terampil bermain Kuda Lumping. Dad sinilah kesenian Kuda Lumping itu kemudian hidup di daerah Sukabumi.
Demikian halnya dengan di daerah Banten, seperti halnya di sepanjang pantai utara dan selatan Jawa Barat yang didominasi masyarakat berbahasa Jawa, daerah pantai utara dan selatan Provinsi Banten pun didominasi atau sedikitnya banyak terdapat masyarakat berbahasa Jawa. Kesenian Kuda Lumping hidup dan berkembang di tengah­tengah masyarakat Jawa, walau di kemudian hari menjadi bagian tak terpisahkan dari kesenian masyarakat banten secara keseluruhan.

C.    Daerah Penyebaran Kuda Lumping
Kesenian Kuda Lumping tersebar di daerah-daerah yang masyarakatnya dipandang masih berpegang pada tradisi kejawen, dalam arti masyarakat yang masih kuat mempercayai kekuatan-kekuatan magic dan komunitas Islam Abangan. Daerah di sini bukan dalam artian geografis, melainkan lebih sebagai orang perorangan maupun komunitas yang tersebar dan menyatu dengan komunitas lainnya. Tapi di Banten tradisi magic sudah tumbuh. Seni debus jelas sekali mempertunjukan kebolehan pemain dalam menggunakan kekuatan magic Oleh karena itu kesenian Kuda Lumping tersebar di daerah-daerah di mana seni debus hidup.

D.    Tahap Seni Tari Kuda Lumping
Dalam setiap pagelarannya, tari kuda lumping ini menghadirkan 4 fragmen tarian yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri. Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari lainnya. Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih. Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe. Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari seluruh rangkaian atraksi tari kuda lumping.


Kuda Lumping
Ada suatu permainan
Permainan unik sekali
Orang naik kuda, tapi kuda bohong
Namanya kuda lumping
Anehnya permainan ini
Orangnya bisa lupa diri
Dia makan rumput, juga makan kaca
Aduhai ngeri sekali
Itu kuda lumping, kuda lumping
Kuda lumping, kesurupan
Itu kuda lumping, kuda lumping
Kuda lumping, loncat-loncatan
Awas jangan dekat-dekat
Melihat permainan ini
Karena akibatnya bisa berbahaya
Itulah kuda lumping
Anehnya permainan ini
Orangnya bisa lupa diri
Dia makan rumput, juga makan becaAduhai ngeri sekali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar