Nabi Muhammad saw. dan Wahyu
Muhammad bin ‘Abdullah dilahirkan dari
kalangan keluarga terhormat yang relatif miskin, keturunan suku Quraisy di
Mekkah sekitar tahun 570 M. Ayahnya telah meninggal sebelum ia lahir dan ibunya
berpulang kerahmatullah ketika ia masih anak-anak. Ia dibesarkan olah pamannya,
Abu Thalib, yang meskipun tak pernah mau menerima Islam, tetapi membela
keponakannya mati-matian dari sikap permusuhan orang-orang Mekkah yang membenci
agama Islam yang baru itu. Ia adalah orang yang jujur, dapat dipercaya dan
berakhlak luhur. Khadijah, seorang janda kaya yang lebih tua lima belas tahun
daripadanya dan mempekerjakannya untuk mengurus perdagangannya begitu terkesan
oleh kejujuran dan akhlaknya sehingga ia meminta Muhammad menjadi suaminya. Muhammad
yang waktu itu berusia dua puluh lima tahun menerima permintaan itu dan tidak
kawin lagi sampai Khadijah meninggal di saat Muhammad saw. berusia lima puluh
tahun. Kita juga tahu bahwa keluhuran budi Muhammad mendorongnya untuk menyepi
secara teratur di Gua Hira di luar kota Mekkah untuk berkontemplasi. Proses
kontemplasi batiniyah untuk mencapai pengalaman moral-religius ini mencapai
puncaknya dengan turunnya wahyu kepadanya pada saat ia sedang tenggelam dalam
perenungannya yang dalam. Wahyu-wahyu awal yang diterima Muhammad saw. tentu
saja terkait dengan persoalan ide monoteisme (tauhîdullah), yakni ide
tentang keesaan Tuhan dan terkait dengan persoalan humanisme dan rasa keadilan
ekonomi dan sosial di kalangan bangsa Arab. Siapapun
yang membaca Alquran dengan teliti akan berkesimpulan demikian. Alquran (107)
mengatakan, Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang
berlaku buruk terhadap anak-anak yatim dan tidak menganjurkan (orang) untuk
memberi makan kepada orang miskin. Maka, celakalah orang-orang yang (walaupun)
shalat, (namun) lalai dalam shalatnya, orang-orang yang shalatnya hanya riya`
(untuk dilihat orang saja) dan menolak (untuk memberikan) pertolongan
sehari-hari (bagi yang memerlukannya).
Semangat inilah yang kelak menghasilkan
terbentuknya masyarakat Islam di Madinah. Nabi tampaknya menegaskan: satu Tuhan
– satu ummat manusia. Perlu digarisbawahi bahwa, baik monoteisme maupun
perasaan keadilan sosial-ekonomi, bukanlah sifat khas penduduk kota Mekkah atau
bangsa Arab semata; sebaliknya, paham persamaan yang dikemukakan oleh Islam,
dalam sifatnya sendiri, betul-betul melampaui ideal nasional manapun juga.
Menurut hadis, wahyu pertama yang
diturunkan kepada Nabi adalah wahyu berikut:
Bacalah dengan
nama Tuhanmu yang telah menciptakan; yang telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah yang mengajar dengan
pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah
sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, karena ia melihat dirinya
serba cukup. Akan tetapi, kepada Tuhanmulah semuanya akan kembali. (Alquran 96:
1-8).
Cerita-cerita paling awal tentang
Muhammad saw merujuk kepada kenyataan bahwa pengalaman ini terjadi dalam atau
disertai oleh suatu keadaan ‘setengah sadar’ atau ‘kwasi mimpi’, karena Nabi
diriwayatkan, setelah menceritakan pengalamannya itu, telah mengatakan:
“Kemudian aku terjaga”. Bersama dengan berlalunya waktu, Nabi Muhammad saw
mulai melancarkan perjuangan yang berat dengan dasar keyakinan-keyakinannya,
dan pengalaman-pengalaman menerima wahyu ini menjadi semakin sering, sementara
tradisi Islam menjelaskan bahwa pengalaman-pengalaman wahyu Nabi ini (ketika ia
menyelam ke relung kesadaran yang paling dalam) biasanya disertai oleh gejala-gejala
fisik tertentu.
Perjuangan Nabi Muhammad Di Mekkah dan Madinah saw.
Dakwah Nabi Muhammad saw. mendapat
tantangan sengit dari warga kota Mekkah terutama dari kelompok penguasa kota
tersebut. Mereka tidak hanya takut pada tantangan nabi Muhammad saw terhadap
agama tradisional mereka yang politeisme itu, tetapi juga khawatir kalau
struktur masyarakat mereka sendiri dan kepentingan dagang mereka, akan
tergoyahkan langsung oleh ajaran Nabi Muhammad saw yang menekankan keadilan
sosial, yang makin lama makin menjurus dalam kutukannya terhadap riba, dan
desakannya mengenai zakat. Segala macam tuduhan dilontarkan kepada nabi: bahwa
ia adalah orang yang kesurupan, seorang penyihir, dan bahwa ia kehilangan
keseimbangan pikiran. Sementara perjuangan nabi terus berlangsung, ajaran Nabi
sedikit demi sedikit dirumuskan dengan jelas, baik dengan cara mengeksplisitkan
teologi dasarnya melalui strategi argumentasi maupun oleh suatu proses
kristalisasi kewajibankewajiban spesifik yang dikenakan terhadap
pengikut-pengikutnya, baik yang menyangkut diri mereka sendiri maupun vis a vis
kelompok yang memusuhi mereka. Secara kronologis, ajaran pertama yang
ditanamkan oleh Alquran setelah monoteisme dan keadilan sosial-ekonomi adalah
tentang hari pengadilan dan pertangungjawaban akhir dari perbuatan manusia.
Manusia tidak hanya pendurhaka, tetapi juga pemberontak yang keras kepala.
Karena itu, haruslah ada perhitungan moral di mana hukuman berat disediakan
bagi orang-orang yang tidak percaya dan para pelaku kejahatan, sedangkan ganjaran
yang besar akan diberikan kepada orangorang yang shaleh. Sementara itu, tugas
nabi adalah menyiarkan risalah dan memberi peringatan dengan tak kenal lelah,
siapa tahu mereka akan sadar kembali.
Alquran pada periode Mekkah juga
berualng-ulang berbicara tentang kisah Nabi-nabi terdahulu, Ibrahim, Nuh, Musa,
Isa, dan lain-lain, yang juga adalah orang-orang yang dimusuhi masyarakatnya,
yang risalahnya pun telah disambut dengan sikap keras kepala oleh sebagian
besar masyarakatnya. Kisah-kisah tersebut makin lama makin lengkap dan gambaran
nabi-nabi terdahulu itu semakin mempunyai bentuk yang pasti. Mempertanyakan -
dari mana sumber-sumber riwayat nabi-nabi di dalam Alquran berasal - tidak
penting dalam menegaskan makna dan keaslian risalah nabi. Karena yang utama
adalah bagaimana kita bisa memahami fungsi dan makna cerita-cerita tersebut.
Dalam perjuangannya, walaupun pernah
mengalami kekecewaan-kekecewaan, Nabi Muhammad saw tak pernah kehilangan
harapan untuk meraih keberhasilan dan kemenangan dalam tugasnya. Orang-orang
nampaknya menaruh penekanan terlalu banyak pada peristiwa lahiriyah secara
rinci dan teliti dalam riwayat hidup nabi, tetapi tidak cukup memberikan
perhatian kepada sejarah spiritual batiniahnya yang penuh pergolakan, yang
masih harus disusun dengan lengkap. Sebelum Muhammad menerima tugas kenabian,
pikirannya selalu terganggu oleh masalah-masalah tentang situasi dan nasib
manusia. Hal ini mendorongnya untuk menyepi dan berkontemplasi secara teratur.
Dari perjuangan jiwanya yang tak kenal menyerah untuk menemukan jawaban,
turunlah wahyu. Tentang hal ini, Alquran mengatakan (94: 1-3): “Tidakkah Kami
telah melapangkan kesesakan dadamu dan melepaskan beban yang memberatkan
punggungmu?” Dengan demikian, seluruh sejarah batin nabi selanjutnya tergaris
antara dua batas, yakni kekecewaan yang disebabkan oleh sikap warga Mekkah,
yang merupakan masalah di luar kekuasaannya, dan usaha untuk mensukseskan
misinya. Demikian kuatnya semangat Nabi untuk berhasil hingga Alquran
berulangkali menyinggung tentang keadaan dirinya, baik pada periode Mekkah
maupun periode Madinah. ‘Tidaklah Kami turunkan Alquran kepadamu (hanya) untuk
membuatmu menderita.’ (20:2). Bahwa perhatian Nabi dan keprihatinannya terhadap
masyarakat Yahudi dan Kristen di Madinah pada dasarnya adalah sama dengan
perhatian dan keprihatinannya terhadap orang-orang kafir Arab di Mekkah. Nabi
tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang diperolehnya untuk melaksanakan
rencananya. Musuh-musuhnya, baik ketika di Mekkah maupun di Madinah, yang mengetahui
semangat Nabi yang demikian besarnya demi perjuangan kemanusiaan ini,
menawarkan kepadanya kesempatan-kesempatan pancingan dengan imbalan
konsesi-konsesi dari Nabi, tetapi Alquran terus-menerus memperingatkan Nabi
tentang setiap kemungkinan kompromi dan menegaskan perbedaan antara kompromi
dan strategi. ‘Mereka ingin, kalau saja engkau mau berkompromi maka mereka juga
mau berkompomi.’ (68:9).
Strategi Nabi Muhammad saw.
Di Mekkah Nabi telah memperoleh
sekelompok pengikut yang kecil jumlahnya, tapi bersemangat kuat. Namun setelah
tiga belas tahun berdakwah dan berjuang terus menerus, tampak jelas bahwa
gerakannya menemui jalan buntu. Dan tampaknya kecil sekali harapan untuk cepat-cepat
memperoleh keberhasilan menghadapi perlawanan warga Mekkah yang keras kepala
itu. Ketika itulah, orangorang Madinah mengadakan hubungan dengan Nabi dan
mengundangnya untuk pindah ke kota tersebut, dan menjadi pemimpin politik dan
agama. Karena alasan ini, tidak mungkin untuk menganggap Nabi telah kehilangan
harapan atau ditolak sama sekali di Mekkah, walaupun perjuangannya baru
memperoleh kemajuan sedikit saja, dan seperti dikatakan tadi, tampaknya
seolah-olah menemui jalan buntu. Seandainya misinya memperoleh kemajuan yang
memuaskan, tentulah ia tidak akan meninggalkan Mekkah, karena menguasai kota
tersebut yang merupakan pusat keagamaan bangsa Arab, adalah tujuan utamanya.
Namun sebaliknya, ia juga bukan sama sekali tidak diikuti orang di Mekkah,
karena kalau tidak demikian, jelas orang-orang Madinah itu tidak akan memintanya
untuk menjadi pemimpin agama dan politik mereka.
Di Madinah, Nabi mengeluarkan sebuah
piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu
komunitas dengan menekankan kerja sama seerat mungkin dengan sesama kaum
muslimin, dan menyerukan kepada orang-orang muslim dan Yahudi untuk bekerja
sama demi keamanan mereka bersama, dan sejauh menyangkut peraturan dan tata
tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada Nabi untuk memutuskan dan
mengadili perselisihan-perselisihan di antara mereka. Dalam waktu yang singkat,
nabi berhasil membina persaudaraan sejati yang kokoh dan efektif di antara
imigran-imigran muslim Mekkah dan kaum muslimin Madinah, suatu fenomena yang
menakjubkan ahli-ahli sejarah, baik dahulu maupun sekarang. Setelah keberhasilan
ini diperoleh, Nabi beralih pada tugas yang meruapakan faktor yang menentukan
dalam misi kerasulannya, yakni menarik Mekkah untuk menerima Islam, dan melalui
kota pusat keagamaan ini selanjutnya menyebarkan Islam ke daerah-daerah lain.
Karenanya, sejak saat itu, seluruh usaha nabi dikerahkan untuk mencapai tujuan
ini.
Di Mekkah, ia telah berusaha
sekeras-kerasnya, tapi tampaknya tidak ada hasilnya. Dalam semangatnya, ia
ingin melakukan strategi dan tindakan-tindakan yang kadang-kadang menjurus kepada bahaya
kompromi. Kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa nabi mempunyai strategi yang
jitu, yakni merebut Mekkah terlebih dahulu, untuk kemudian dari kota ini,
menyiarkan Islam ke daerah-daerah lainnya. Inilah target utama Nabi yang akan
ia jalankan, sekalipun seandainya ia masih di Mekkah. Ada dua faktor utama yang
mendorong kebijaksanaan ini: pertama, Mekkah adalah pusat keagamaan bangsa Arab
dan melalui konsolidasi bangsa Arab dalam Islamlah, Islam bisa tersebar ke
luar. Kedua, apabila suku Muhammad sendiri dapat diislamkan, maka Islam akan
memperoleh dukungan yang besar, karena orang-orang Quraisy, dengan kedudukan
mereka sendiri serta pakta-pakta antarsukunya, mempunyai kekuasaan dan pengaruh
yang besar. Bahkan dalam periode Mekkah awal, Alquran menyuruh Nabi untuk lebih
dahulu mendekati sanak keluarganya yang terdekat dan suku bangsanya.
Kunci Kesuksesan Kepemimpinan Nabi Muhammad saw.
Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan
Rasulullah saw berlangsung bukan tanpa hambatan. Ia menghadapi hambatan fisik
maupun mental. Ia diejek, dicemooh, dihina dan disakiti. Pada malam berhijrah
dari Mekkah ke Yatsrib, rumahnya dikepung oleh orang-orang beringas. Namun
hambatan-hambatan itu tidak membuatnya putus asa dan gagal dalam melaksanakan
tugas. Bahkan dalam waktu yang relatif singkat, ia mampu menyelesaikan tugasnya
membina satu masyarakat yang sebelumnya dikenal sangat bobrok, serakah,
fatalistik, anarkhis dan terpecah belah menjadi satu masyarakat yang ideal,
berkeadilan dan sejahtera dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, kita seharusnya
bertanya, apa kunci kesuksesan kepemimpinan Rasulullah saw. selain karena
petunjuk, bantuan, dan perlindungan Allah swt. Paling tidak ada beberapa hal
yang perlu dikemukakan di sini.
Pertama, akhlak Nabi yang terpuji tanpa
cela. Muhammad saw. sejak muda sebelum diangkat menjadi rasul terkenal lemah
lembut, namun penuh daya vitalitas, berakhlak mulia, jujur, dan tidak
mementingkan diri sendiri atau sukunya. Sejak muda, Muhammad saw. telah
mendapat gelar al-amîn, karena kejujurannya. Karena kejujurannya pula,
ia mendapat kepercayaan dari Khadijah yang kemudian menjadi istri dan
pendukungnya untuk membawa dagangannya ke Syria. Karena terkenal jujur dan
keyakinan tidak akan berpihak, maka majlis Hilf al-Fudhul mempercayakan
kepadanya untuk memutuskan siapa yang akan meletakkan hajar aswad pada
tempatnya setelah Kakbah selesai direnovasi.
Kedua, karakter Nabi yang tahan uji,
tangguh, ulet, sederhana dan bersemangat baja. Rasulullah saw. walaupun sejak
lahir sudah dalam keadaan yatim, dan lahir dari kalangan suku yang terkemuka
dan cucu dari pimpinan suku, tetapi ia tidak mau hidup manja dan menggantungkan
hidupnya kepada orang lain. Sejak kecil, ia ikut menggembalakan ternak keluarga
dan pada usia dua belas tahun, ikut membantu pamannya berdagang, melawat ke
Syria, satu perjalanan sulit dan cukup berbahaya pada waktu itu. Sikap percaya
diri dan pengalaman hidup yang penuh perjuangan telah menggembleng dirinya
menjadi seorang pemimpin yang tidak akan surut dalam perjuangan.
Ketiga, sistem dakwah Nabi yang
menggunakan metode imbauan yang diiringi dengan hikmah kebijaksanaan. Nabi
menyeru manusia agar beriman, berbuat yang shaleh dan mencegah kemungkaran
tanpa unsur paksaan sedikitpun. Allah swt. sendiri memerintahkan, La ikrâha
fî al-dîn (tidak ada paksaan dalam agama). Ketika Nabi berhasil merebut
kota Mekkah dan memegang pucuk pimpinan, Nabi tidak melakukan tindakan balasan
apapun terhadap orang-orang yang pernah mengejek, mencemooh, dan menyakitinya.
Keempat, tujuan perjuangan Nabi adalah
sangat jelas yakni ke arah penegakan keadilan dan kebenaran serta menghancurkan
yang batil, tanpa pamrih kepada harta, kekuasaan dan kemuliaan duniawi. Nabi
menolak tawaran para pemuka Quraisy Jahili untuk menukar gerak perjuangannya
dengan harta, tahta, dan wanita.
Kelima, prinsip persamaan derajat. Nabi
dalam pergaulan sehari-hari, bersikap sama terhadap semua orang. Tutur sapanya,
lemah lembutnya, senyum manisnya, tidak berbeda antara satu dengan yang lain.
Antara yang kaya dan yang miskin, antara yang lemah dan yang kuat, antara musuh
dan sahabat. Ia tidak pernah menghardik, menghina, atau bermuka masam kepada
siapapun.
Keenam, prinsip kebersamaan. Nabi dalam
menggerakkan orang berbuat tidak hanya memberikan perintah, tetapi ia sendiri
ikut terjun memberikan contoh. Ketika masyarakat Madinah membangun masjid Kubah
yang sekaligus pula akan menjadi tempat kediamannya, ia ikut menyingsingkan
lengan baju dan jubahnya untuk mengangkut tanah liat yang akan dijadikan
sebagai dinding masjid.
Ketujuh, mendahulukan kepentingan dan
keselamatan pengikut atau anak buah. Ketika sikap permusuhan orang-orang
Quraisy Jahili sudah sampai pada tahap sadistis, Nabi memerintahkan sebagian
kaum muslimin berhijrah ke Abbesynia, Habasyah, demi keselamatan iman dan fisik
mereka, sedangkan Nabi sendiri beserta beberapa orang sahabat lain termasuk Abu
Bakar, Umar, dan Ali tetap tinggal di Mekkah menghadapi segala macam cobaan dan
resiko.
Kedelapan, memberi kebebasan berkreasi
dan berpendapat serta pendelegasian wewenang. Nabi bukan pemimpin otokratis dan
militeristis. Selain wewenang kerasulan yang hanya diperuntukkan bagi dirinya
oleh Allah swt., wewenangnya selaku pemimpin umat dan negara sebagian ada yang
didelegasikan kepada pejabat bawahannya. Selain itu, nabi memberikan kebebasan
berpendapat kepada sahabat yang diangkat menduduki suatu jabatan.
Kesembilan, Nabi adalah pemimpin
kharismatis dan demokratis. Muhammad saw memang orang yang terpilih untuk
ditugaskan sebagai rasul. Karena itu, kepadanya dikaruniakan kharisma yang
memikat dan memukau. Gerak dan langkahnya terlihat indah. Tutur katanya
menggetarkan hati dan terasa sejuk. Kekuatan kharismatis yang ia peroleh tidak
dibangun melalui jalan pengkultusan atau menempuh upaya-upaya tertentu.
Kewibawaan yang dimilikinya bukanlah kewibawaan semu, tetapi kewibawaan murni
yang lahir dari kebenaran dan kemurnian misi yang diembannya. Kepatuhan orang
kepada dirinya bukanlah karena terpaksa atau takut, tetapi karena rela. Orang
patuh kepada perintah dan larangannya yang hampir seluruhnya berasal dari Allah
swt. Bukan hanya ketika berada di depannya, tetapi juga ketika sendirian dan
bersembunyi.
Kepemimpinan rasul juga bertipe
demokratis, suatu tipe kepemimpinan yang dikehendaki dan dianggap ideal pada
zaman modern ini. Sesuai dengan perintah Allah swt., rasul selalu bermusyawarah
dalam hal-hal yang mengatur hubungan antar manusia, mu’âmalah atau
hal-hal yang bersifat duniawi, yang tidak ada ketentuan langsung dari Allah
swt. Sifat demokratis kepemimpinan nabi ini ditunjukkan pula oleh sikapnya yang
terbuka terhadap kritik dan mendengar pendapat dan saran orang lain. Sikap
mendengar pendapat dan saran orang lain ditunjukkan oleh hadis yang menyatakan,
“Terimalah nasehat walaupun datang dari seorang budak hitam.”
Oleh karena itu, pergantian dari masa Khulafa’ al-Rasyidun
ke masa dinasti Umayyah dipandang oleh Robet N. Bellah sebagai kegagalan sistem
Islam yang menghendaki pemilihan pimpinan politik tertinggi secara terbuka dan
demokratis dan berubah menjadi sistem penunjukan atau yang menyerupai itu secara
tertutup dan otoriter. Kegagalan itu terjadi karena prasarana sosial untuk
mendukung sistem politik Islam yang modern saaat itu belum ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar