A. Sejarah Sintren
Kebudayaan pesisir merupakan keseluruhan pengetahuan yang dipunyai dan terjiwai oleh masyarakat pesisir, yang isinya adalah perangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, untuk mendorong, dan untuk menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Dalam pengertian ini, kebudayaan adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaan untuk menghadapi lingkungan-lingkungan sekitarnya (fisik, alam, dan sosial) agar masyarakat pesisir itu dapat melangsungkan kehidupannya, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan untuk dapat hidup secara lebih baik (Mudjahirin, 2009).
Kebudayaan pesisir ini meliputi adat-istiadat, tradisi, kepercayaan, dan lain-lain yang dianut oleh masyarakat setempat. Di pesisir pantai utara Pulau Jawa, khususnya dari Indramayu, Cirebon, Brebes, Banyumas, hingga Pekalongan, terdapat tradisi kesenian yang unik. Sintren, suatu tarian yang disebut-sebut mistis inilah yang akan penulis bahas dalam Laporan ini.
Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jati barang, Brebes, Pemalang, Banyumas, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal juga dengan nama lais. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.
Pada zaman dahulu, Kalisabak dipimpin oleh seorang penguasa wilayah yang bernama Raden Bahureksa. Ia tinggal bersama istrinya yang bernama Roro Rantamsari dan putra semata wayangnya, Raden Sulandono. Raden Sulandono tumbuh menjadi seorang pangeran yang tampan dan baik budi pekertinya. Perilakunya yang sopan dan tidak membeda-bedakan teman pergaulan, menjadikannya memiliki banyak teman. Ia suka bergaul dengan rakyat biasa, dan berkunjung sampai ke desa-desa.
Sementara itu, di sebuah dusun yang menjadi wilayah Kalisabak, tersebutlah gadis bernama Sulasih. Sulasih, gadis cantik berbudi itu menjadi kembang desa kebanggan para pemuda.
Suatu hari saat berkunjung ke desa itu, bertemulah Raden Sulandono dengan Sulasih. Raden Sulandono langsung jatuh cinta pada Sulasih. Cinta mereka pun bertaut, tanpa mempermasalahkan status mereka yang berbeda. Namun rupaya Raden Bahureksa menghalangi cinta putranya. Ia beranggapan Sulasih tidak cocok untuk putranya. Walaupun terus dihalang-halangi ayahnya, hubungan cinta Raden Sulandono dan Sulasih terus berlanjut. Tak lama berselang, Raden Bahureksa meninggal dunia, disusul Rara Rantamsari.
Sebenarnya, banyak pemuda yang terpikat pada kecantikan Sulasih. Suatu waktu, Sulasih disembunyikan oleh para pemuda itu agar tidak dapat bertemu lagi dengan Raden Sulandono. Mengetahui kekasihnya disembunyikan, maka terjadi pertarungan antara Raden Sulandono dengan para pemuda desa tersebut. Dan karena dikeroyok, Raden Sulandono kalah. Namun sebelum celaka, Raden Sulandono diselamatkan oleh roh Roro Rantamsari yang kemudian memerintahkan Raden Sulandono untuk bertapa dan memberinya sehelai saputangan. Dia disarankan untuk menjadi penari pada upacara bersih desa yang akan datang.
Pada malan bulan purnama pada saat upacara bersih desa dimulai, melalui perantara Roro Rantamsari, roh bidadari didatangkan agar menyatu ke dalam tubuh Sulasih sehingga ia mampu menari di acara bersih desa. Roh Rantamsari kemudian mendatangi Raden Sulandono yang sedang bertapa agar segera bangun dan cepat-cepat mendatangi upacara bersih desa tersebut. Dalam kesempatan itu Raden Sulandono melemparkan saputangan pemberian ibundanya, maka pingsanlah Sulasih yang sedang menari. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh Raden Sulandono yang segera membawa lari Sulasih.
Sejak saat itu, bila suatu desa menyelenggarakan upacara bersih desa, maka akan disajikan tarian yang pernah ditarikan Sulasih, yaitu tarian para bidadari. Saat menari, seringkali penari seperti tak sadarkan diri karena dimasuki roh.
Tari ini untuk selanjutnya disebut Sintren, yang berasal dari kata si-putri-an atau si-putren, kemudian menjadi sintren, yaitu putri yang menari menirukan tarian para bidadari.
Sekarang ini, umumnya Sintren tidak lagi sebagai tari yang disajikan dalam upacara bersih desa, tetapi telah menjadi tontonan yang bersifat hiburan.
Sintren sebagai seni tari tradisional Jawa, khususnya Cirebon, sering dipertunjukkan pada saat acara kebudayaan. Pemeran sintren adalah gadis yang masih suci (perawan), dan dibantu oleh seorang pawang serta 3-6 orang penjaga.
Prosesi Sintren dimulai dengan, sang gadis dililit tali dari ujung kepala sampai ujung kaki, dibaringkan di atas tikar dan dibungkus, kemudian dimasukkan ke dalam kurungan ayam seukuran manusia yang sudah disiapkan dengan dibungkus kain batik hitam. Dua sinden mendendangkan lagu dalam bahasa Cirebon.
Kemenyan dibakar, penari menabur bunga. dan saat kurungan ayam diangkat, gadis yang dililit itu sudah berubah penampilan, si gadis memakai baju penari berwarna merah, kain batik hitam, dengan mahkota dan kacamata hitam. Si gadis lantas menari dalam kondisi trance. Dan salah satu bagian yang menarik dalam prosesi ini adalah sang penari akan jatuh saat dilempar uang. Setiap penonton melempar uang ke tubuhnya, sang penari pun ambruk. Sang penjaga sigap menangkap, lantas pria berbaju hitam meniup wajah penari Sintren. Dia pun menari lagi, bak wayang di tangan dalang.
B. Bentuk Pertunjukan
Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari sintren sebagai hiburan budaya, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan bodor (lawak).
Dalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam permainan Sintren, si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan membawakan tarian lebih lincah dan mempesona.
Kesenian Sintren terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi dengan beberapa gamelan seperti buyung,sebuah alat musik pukul yang menyerupai gentong terbuat dari tanah liat, rebana, dan waditra lainya seperti , kendang, gong, dan kecrek. Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk mengundang penonton. Syairnya begini:
"Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul".
Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya,
"Kembang trate
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana"
Di tengah-tengah kawih diatas, muncullah Sintren yang masih muda belia. Konon menurut Ny. Juju. Seorang sintren haruslah seorang gadis, kalau Sintren dimainkan oleh wanita yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas, dalam hal ini Ny. Juju enggan lebih jauh menjelaskan kurang pas yang dimaksud semacam apa. ”Pokoknya harus yang masih perawan,” katanya menegaskan.
Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki, sehingga secara syariat, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukan ke dalam sebuah carangan (kurungan) yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya membaca mantra dengan asap kemenyan mengepul. Juru kawih terus berulang-ulang nembang :
"Gulung gulung kasa
Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-buru
Ana sintren masih baru"
Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam keadaan tidur. Namun begitu kurungan dibuka, sang Sintren sudah berganti dengan pakaian yang serba bagus layaknya pakaian yang biasa digunakan untuk menari topeng, ditambah lagi sang Sintren memakai kaca mata hitam. Sintren kemudian menari secara monoton, para penonton yang berdesak-desakan mulai melempari Sintren dengan uang logam, dan begitu uang logam mengenai tubuhnya, maka Sintren akan jatuh pingsan. Sintren akan sadar kenbali dan menari setelah diberi jampi-jampi oleh pawang. Secara monoton sintren terus menari dan penonton pun beruhasa melempar dengan uang logam dengan harapan Sintren akan pingsan. Disinilah letak inti dari seni sintren, tidak tahu apakah itu hanya adegan semata atau memang benar-benar mengandung unsur magis.
Kesenian Sintren merupakan warisan tradisi rakyat pesisiran yang harus dipelihara, mengingat nilai-nilai budaya yang kuat di dalamnya, terlepas dari apakah pengaruh majis ada di dalamnya atau tidak. Sintren menambah daftar panjang kekayaan khasanah budaya sebagai warisan tradisi nenek moyang kita.
C. Fungsi Kesenian Sintren
Adapun fungsi dari kesenian sintren sebagai berikut:
1. Sebagai sarana hiburan masyarakat.
2. Apresiasi seni dan nilai-nilai estetik masyarakat.
3. Digunakan untuk keperluan upacara-upacara ritual seperti : bersih desa, sedekah laut, upacara tolak bala, nadzar, ruwatan dan pernikahan.
4. Untuk memeriahkan peringatan hari-hari besar, seperti hari ulang tahun kemerdekaan, hari jadi.
D. Syarat Menjadi Sintren Dan Ritualnya
Sintren adalah sejenis kesenian tari yang di dalamnya terdapat unsur gaib,dimana calon penari akan dirasuki jin penari. Untuk menjadi penari sintren tdk dbutuhkan keahlian menari. Syarat utama adl gadis yg masih perawan. Konon jika sudah tak perawan,jin tdak mau masuk ketubuh si penari.
Ada ritual2 tertentu yg harus dilakukan sebelum melakukan pertunjukan tari. Salah satunya adalah kurungan (semacam kurungan ayam tapi ukurannya lebih besar). Untuk membuat kurungan tidak bisa dilakukan oleh smbrang orang. Harus orang yg mempunyai kemampuan olah batin yg mempuni. Bambu yg digunakan pun harus khusus, Orang yg akan membuat kurungan pun harus menjalani puasa & tirakat. Bambu khusus itu harus disimpan terlebih dahulu di tempat yg di anggap keramat slama 3hr sebelum dibuat kurungan. Setelah kurungan selesai dibuat,maka kurungan akan di bungkus kain hitam.
E. Perkembangan Kesenian Sintren
Sintren merupakan kesenian tradisional rakyat di pesisir pulau Jawa bagian utara. Kesenian rakyat ini populer di kalangan masyarakat, karena sintren mempunyai keistimewaan yaitu menari dalam keadaan kesurupan(trance). Prilaku tranceyang terjadi pada sintren merupakan ciri khas dari kesenian ini. Popularitas kesenian ini mulai dari Majalengka, Kuningan, Indramayu, Cirebon. Bahkan sudah berkembang lebih jauh lagi sampai Serang, Pekalongan, dan Pemalang. Keberadaan sintren menimbulkan berbagai praduga tentang asal usul dan perkembangannya. Muncul dugaan di kalangan masyarakat bahwa kesenian sintren merupakan sisa-sisa peninggalan masa pra Hindu di pulau Jawa. Ada pula dugaan bahwa sudah ada ketika pendudukan kolonial di pulau Jawa. Bagi masyarakat pesisir yang sebagian besar mata pencahariannya dari hasil menangkap udang, pertunjukan sintren merupakan salah satu hiburan tatkala pulang dari melaut. Kesenian ini memiliki keunikan, karena mengandung unsur-unsur kekuatan yang diluar nalar manusia biasa atau magis di dalam pertunjukannya sehingga menjadi daya tarik utama dan mampu bertahan hingga kini. Kesenian sintren pada masa lampau bertujuan untuk sarana ritual yang bersifat sakral. Selain sebagai sarana ritual, sintren juga dimanfaatkan sebagai hiburan seperti upacara besar dan pernikahan. Berbeda dengan masa lampau, yaitu masa kesenian sebagai sarana pemujaan kepada roh-roh gaib atau untuk kepentingan ritual, perkembangan sintren masa kini sudah mengarah pada kebutuhan komersial dan menjadi seni tontonan. Walaupun kondisi kesenian tradisi kerakyatan Cirebon sekarang ini telah ‘dikepung’ oleh kesenian modern, namun masih banyak peminat dan pengamat yang tetap setia pada seni tradisi. Saat ini bermunculan grup-grup sintren yang baru di kota Cirebon. Yaitu grup Sinar Bahari, grup Sinar Surya, grup Sinar Fajar. Grup -grup iniaktif sekitar tahun 2000-an yang memunculkan persaingan antara grup satu dengan grup yang lain. Persaingan ini muncul karena memperebutkan tanggapan dari penanggap tari sintren dan membesarkan nama grupnya sendiri tanpa mementingkan sejarah atau segi pertunjukannya. Kondisi saat ini berdampaknya pada perubahan dari cara pementasan grup –grup tari sintren yang baru. Perubahan ini terdapat dari segi pertunjukan dan alat musik yang dimainkan oleh grup tari sintren yang baru, yaitu alat musik memakai alat organ atau alat musik dangdutan dan segi pertunjukan lebih meminimkan pemainnya. Akibatnya, orisinalitas dari pertunjukan grup tari sintren pun sedikit demi sedikit menghilang. Nilai-nilai yang terkandungdalam kesenian sintren yaitu nilai estetis, nilai sosial, dan nilai ekonomi masih dipertahankan oleh salah satu grup sintren yang bernama Sinar Harapan. Grup sintren yang berdiri pada tahun 1983 ini masih tetap mempertahankan tradisinya, baik secara bentuk pertunjukannya maupun laku spiritualnya. Adanya persaingan antara grup -grup tari sintren yang membuat grup Sinar Harapan tersisihkan oleh grup lainnya.Oleh karena itu, kegiatan memperkenalkan kembalimelalui strategi media yang menampilkan grup sintren Sinar Harapan sebagai grup yang masih mempertahankan orisinalitas dari segi pertunjukannya dan eksis sampai saat ini, dapat menjadi solusi dari permasalahan yang ada. Dengan demikian grup sintren Sinar Harapan sebagai grup sintrenyang masih mewarisi tradisi tari sintren dapat dikenal oleh khalayak luas sehingga dapat bertahan dan berkembang kembali di daerah Jawa Barat khususnya kota Cirebon.